Sampah dan Manusia: Antara Religiusitas dan Konektivitas

Jagabumi.co_ Sebagai penikmat jalan-jalan, berkunjung ke Kali Code menjadi salah satu momentum yang sangat menarik. Kali Code merupakan pemukiman warga di pinggiran kota dekat dengan sungai kali Code. Kini mereka menamai pemukimannya dengan kampung Wisata Kali Code.

Jika kita lihat dari sejarahnya, Kali Code dahulunya sebagian besar merupakan pemakaman China, hal ini diungkapkan oleh pak Haris ketika memandu kami di sana, pun juga ditunjukan petilasan makamnya yang berbahasa China di beberapa tempat. Atas kebijakan sultan, akhirnya, tanah tersebut diberikan untuk dapat dihuni oleh warga sebagai pemukiman.

Meskipun begitu, tanah itu bukan milik warga, status kepemilikannya tetap milik sultan atau apa yang dikenal sebagai Sultan Ground.

Sudah sedari lama sebenarnya mendengar Kali Code dan komunitas di dalamnya termasuk warga-warganya yang katanya melek lingkungan dan “diberdayakan” untuk peduli terhadap lingkungan. Setelah langsung berkunjung, ternyata memang benar, sebagian besar masyarakat di sana sudah cukup teredukasi dengan baik.

Salah satu contoh sederhananya adalah ketika berjalan melalui rumah-rumah warga, satu yang saya perhatikan, melihat kebersihan di sekitar jalan, dan memang sepanjang mata memandang, hanya segelintir sampah yang terlihat, meski memang tidak sampai bersih tidak ada satupun sampah.

Namun begitu, jika dibanding dengan beberapa pemukiman lainnya yang ada di perkotaan, Kali Code termasuk yang bersih.

Selain itu, bukan saja tentang kebersihan sekitar jalan yang terbebas dari sampah, tetapi disana juga disediakan bank sampah. Kepeduliannya terhadap lingkungan lebih jauh dari hanya sekedar membuang sampah pada tempatnya, karena dengan membuang sampah pada tempatnya saja tetap masih menyisakan masalah seperti penumpukan sampah.

Belum lagi, di Yogyakarta, sampai satu tahun terakhir ini, masalah sampah masih menjadi persoalan serius karena masih ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan yang sudah tidak bisa lagi menampung sampah. Oleh karenanya, di Kali Code bank sampah menjadi tawaran yang sangat bagus dan tanda kemandirian dalam mengelola sampah.

Selain sampahnya bisa untuk diolah atau didaur ulang untuk mengurangi penumpukan, juga memberikan dampak ekonomis yang lumayan terhadap masyarakat.

Agama, Ibadah dan Pengeloaan Terhadap Sampah 

Pengelolaan sampah tersebut dilakukan sebagian besar oleh ibu rumah tangga. Menariknya, mereka memandang bahwa pengelolaan bank sampah tersebut adalah bagian dari pada dan ditujukan untuk ibadah mereka kepada Tuhan.

Mereka menggunakan istilah-istilah agama untuk menggambarkan motivasi dari pengelolaan yang mereka lakukan seperti “Ikhlas”, “Mewakafkan Tenaga”, dan “Niatan Shadaqah”. Setidaknya ada tiga kata yang merujuk pada konsep agama khususnya Islam yaitu Ikhlas, wakaf, dan shadaqah.

Dalam konteks ikhlas berarti segala sesuatu dikerjakan hanya untuk dan karena Allah. Dalam konteks wakaf berarti segala sesuatu yang ia lakukan tidak lain untuk kepentingan umum dan karena Allah.

Demikian juga dalam konteks shadaqah berarti memberikan kontribusinya untuk semata karena Allah.

Dalam hal ini, agama menjadi sumber motivasi besar untuk menggerakan kepeduliannya terhadap lingkungan karena mereka mengetahui bahwa dengan peduli terhadap lingkungan, mereka akan mendapatkan balasan yang lebih dari Tuhan.

Ini juga menegaskan kembali sebagaimana dijelaskan oleh Nasr bahwa agama sangat berpengaruh dalam penyelesaian masalah lingkungan.

Agama tidak bisa dikesampingkan dari perannya untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan hanya memfokuskan penyelesaian lingkungan pada ilmu pengetahuan rasional yang berdasar pada etika agnotisisme (Nasr, 2007: 30).

Agama justru menjadi instrumen penting dalam penyelesaian masalah lingkungan terlebih sampai dengan saat ini sebagian besar masyarakat di dunia adalah yang masih memiliki keyakinan terhadap agama, sehingga akan lebih memudahkan untuk menyerukan kepedulian kepada lingkungan dengan menggunakan religious ethic.

Pengetahuan atau seruan moral agama bahwa menjaga lingkungan adalah akan mendapatkan balasan kebaikan membuat ibu-ibu rumah tangga tersebut melakukan pengelolaan sampah atas dasar moral tersebut.

Meskipun mendapatkan dampak ekonomis dari kegiatan tersebut, tetapi mereka menekankan bahwa bukan itu yang menjadi semangat utamanya, tetapi karena seruan agama tentang ikhlas dan sedekah.

Hal tersebut juga senada dengan yang dikatakan oleh Bauman bahwa “dunia keagamaan merupakan kekuatan utama dalam membentuk cara kita berinteraksi dengan lingkungan kita, dan dunia ini terus-menerus dibentuk kembali oleh pertemuan-pertemuan baru dengan dunia non-manusia” (Bauman et al., 2011: 24). Pola interaksi antara ibu-ibu dan sampah terbentuk dari religious ethic and knowledge.

Salah satu anggota pengelola bahkan memberikan simbolisme imajinatif tentang yang dilakukannya adalah dalam rangka menggelar “sajadah panjang”. Jika ditelusuri kata tersebut merujuk pada lagu penyanyi religi Bimbo yang penggalan liriknya sebagai berikut:

“Ada sajadah panjang terbentang. Dari kaki buaian Sampai ke tepi kuburan hamba. Kuburan hamba bila mati. Ada sajadah panjang terbentang. Hamba tunduk dan sujud. Di atas sajadah yang panjang ini. Diselingi sekedar interupsi. Mencari rezeki mencari ilmu. Mengukur jalanan seharian. Begitu terdengar suara azan. Kembali bersimpuh hamba.”

Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sajadah panjang di sini adalah investasi untuk akhirat terkait dengan yang dilakukannya.

Pertemuan antara ibu-ibu rumah tangga dengan sampah dapat juga dikatakan saling membentuk karena satu merasa terpanggil sedang sampah memberikan pengaruh untuk kemudian ibu-ibu rumah tangga tersebut melakukan pengelolaan. Tidak akan ada yang namanya pengelolaan sampah jika tidak ada sampah itu sendiri.

Sebagaimana Latour katakan bahwa “tidak ada satu entitas yang signifikan jika berdiri sendiri, namun memperoleh makna melalui banyak – dan dapat berubah – hubungannya dengan entitas lain”. Apa yang kemudian ketersalinghubungan antara entitas itu ia sebut sebagai actor-networks theory, “aktor-jaringan bersifat hybrid, artinya terdiri dari manusia dan objek material; dan semuanya ada dalam jaringan aktor” (Blok & Elgaard, 2011: 3).

Sampah tidak hanya dipandang sebagai benda yang statis tanpa pengaruh apapun tetapi ia memberikan pengaruh. Demikian juga dengan hasil dari olahan sampah tersebut di mana menjadi sabun, lilin, dan lain sebagainya sehingga memberikan dampak ekonomis.

Menurut Latour (2005: 70) “Aksi sosial tidak hanya diambil alih oleh alien, namun juga dialihkan atau didelegasikan kepada berbagai jenis aktor yang mampu menggerakkan aksi tersebut lebih jauh melalui cara-cara tindakan yang lain, jenis kekuatan yang lain secara keseluruhan”. Sampah, sabun, lilin dan lainnya juga sebagai actors.

Tentunya definisi action itu sendiri tidak hanya terbatas pada ““intentional” atau “meaningful” humans do” sehingga sangat tidak mungkin untuk memasukkannya ke dalam actors.

Namun, ia menjelaskan bahwa actors lebih tepatnya disebut sebagai “peserta dalam tindakan menunggu untuk diberikan figurasi” (Latour, 2005: 71). Ia juga menekankan bukan berarti participant menentukan aksi atau menjadi penyebab tetapi lebih kepada bahwa “mungkin ada banyak corak metafisik antara kausalitas penuh dan ketiadaan belaka”.

Oleh karenanya, pemisahan pandangan dan penekanan bahwa manusia sendiri yang hanya menjadi aktor penting perlu kemudian diperhatikan ulang. Karena dengan begitu, aktivitas dan relasi yang terbangun cenderung diskriminatif.

Dari pada semua itu, masalah lingkungan bukan hanya tanggung jawab dari para aktivis cum akademis lingkungan murni sebagaimana juga ditekankan oleh Nasr.

Bagaimanapun, kita tidak dapat melepaskan agama dari kehidupan dan keseharian kita atau apa yang disebut oleh Ammerman sebagai “lived religion”, bahwa ini tentang “Bagaimana agama terjadi dalam kehidupan sehari-hari… mempelajari agama dengan cara ini berarti memperluas wawasan kita melampaui teks-teks dan doktrin-doktrin resmi untuk melihat bagaimana gagasan tentang hal-hal sakral muncul di tempat-tempat yang tidak resmi.

Hal ini mencakup praktik masyarakat biasa, bukan hanya pemimpin agama. Kita diharapkan dapat menemukan agama baik di tempat-tempat “religius” maupun di tempat-tempat sehari-hari lainnya. Hal ini untuk fokus pada apa yang dilakukan orang-orang, serta apa yang mereka katakan” (Ammerman, 2021: 5).

Demikian juga pandangan lama yang mengakar bahwa aktor hanyalah terbatas manusia sehingga cenderung mengesampingkan peran-peran lainnya.

 

Oleh : Haikal Fadhil Anam

 

REFERENCES

Ammerman, N. T. (2021). Studying Lived Religion: Contexts and Practices. New York University Press.

Bauman, W. A., Bohannon II, R. R., & O’Brien, K. J. (Eds.). (2011). Inherited Land: The Changing Grounds of Religion and Ecology. Pickwick.

Blok, A., & Elgaard, T. (2011). Bruno Latour Hybrid thoughts in a Hybrid World. Routledge.

Latour, B. (2005). Resembling the Social Network Analysis: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2007). The Essential Seyyed Hossein Nasr. World Wisdom.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *